
Bengkalispos.com Misteri hilangnya Alvaro Kiano Nugroho (6) akhirnya terurai setelah polisi menggabungkan keterangan keluarga dan temuan penyidikan.
Rekonstruksi menunjukkan bahwa Alvaro bukan sekadar hilang, melainkan menjadi korban kekerasan ayah tirinya, Alexander Iskandar.
Alexander membekap anak tirinya hingga tewas sebelum membuang jasadnya ke wilayah Tenjo, Bogor.
Ia disebut menyimpan dendam terhadap istrinya yang diduga memiliki pria idaman lain. Riwayat pesan ancaman dan pencarian digital di ponselnya menguatkan motif tersebut.
Kasus ini berakhir tragis ketika Alexander ditemukan tewas diduga bunuh diri di ruang konseling Mapolres Jakarta Selatan, beberapa jam sebelum resmi ditahan.
Lantas, benarkah anak tiri lebih rentan menerima kekerasan?
Risiko anak dalam keluarga tiri: pelajaran dari kasus Alvaro
Psikolog forensik, Reza Indragiri menilai, kasus penculikan dan pembunuhan Alvaro membuka kembali kecemasan banyak orang tua.
“Peristiwanya memilukan dan membuat kita waswas bagaimana jika hal serupa menimpa anak kita sendiri,” ujarnya saat dihubungi Bengkalispos.com, Rabu (26/11/2025).
Ia mengingatkan, tragedi Alvaro bukan satu-satunya. Belum lama ini, publik juga dikejutkan kasus anak di Bandung yang disiksa hingga dibakar, dan dua-duanya melibatkan pelaku yang berstatus orang tua tiri.
Reza menegaskan, banyak orang tua tiri merawat anak non-biologis dengan penuh kasih. Namun, temuan ilmiah menunjukkan adanya pola risiko.
Menurutnya, konsep cinderella effect menjelaskan kecenderungan makhluk hidup lebih protektif terhadap keturunan yang memiliki kesamaan genetik.
“Ketika konflik besar terjadi, impuls agresif bisa lebih mudah meletup,” kata Reza.
Meski begitu, status tiri bukan satu-satunya faktor. Risiko kekerasan dalam keluarga adalah persoalan majemuk, melibatkan dinamika relasi, tekanan ekonomi, hingga kondisi psikologis.
Reza mengingatkan adanya tanggung jawab besar ketika seseorang memilih menikah kembali dan mempercayakan pasangan barunya mengasuh anak bawaan.
Kompleksitas itu harus dihadapi dengan kehati-hatian dan dukungan sosial yang memadai.
Anak tiri dan risiko kekerasan, apakah benar lebih rentan?
Senada, psikolog Ibunda.id Danti Wulan Manunggal juga menyinggung konsep cinderella effect yang dipopulerkan oleh Daly and Wilson.
“Secara biologis, orang tua kandung memiliki bantalan instingtif untuk bersabar demi kelangsungan gen mereka sendiri. Pada orang tua tiri, rem biologis ini tidak sekuat itu,” jelas Danti saat dihubungi secara terpisah, Rabu.
Dalam situasi penuh tekanan, anak rewel, keuangan sulit, konflik rumah tangga, hubungan sosial antara orang tua tiri dan anak sambung lebih mudah terguncang dibandingkan ikatan biologis.
Selain itu, perspektif evolusi juga melihat kemungkinan munculnya kompetisi sumber daya di alam bawah sadar, di mana anak tiri dipersepsikan sebagai pihak yang “menghabiskan” perhatian atau ekonomi keluarga.
Ayah tiri, lanjutnya, ketika melakukan kekerasan ekstrem, cenderung menunjukkan pola brutal yang menandakan akumulasi kemarahan dan kejengkelan.
Meski begitu, Danti menegaskan bahwa data ini bersifat statistik, bukan label.
“Banyak orang tua tiri yang mencintai anak sambung mereka dengan tulus. Namun, membangun kedekatan memang membutuhkan usaha sadar yang lebih besar,” katanya.
Membedah motif psikologis di balik kasus Alvaro
Kasus kematian Alvaro kembali membuka diskusi soal dinamika keluarga dan risiko kekerasan terhadap anak.
Dia menilai, peristiwa ini tidak bisa dipahami sebagai kekerasan biasa, melainkan harus dilihat dari kacamata psikologi kriminal.
Menurutnya, kasus ketika ayah membunuh anak lalu mengakhiri hidupnya sendiri tergolong extended suicide atau “bunuh diri yang diperluas”.
“Pelaku dalam situasi seperti ini tidak memandang anak sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari dirinya sendiri,” ujar Danti.
Ia menjelaskan, motif yang memicu filisida-suicide biasanya berkaitan dengan tekanan psikologis mendalam.
Mulai dari depresi berat yang melahirkan ilusi ingin menyelamatkan anak dari dunia yang dianggap kejam, stres keluarga akut seperti perceraian atau kehilangan pekerjaan, hingga dorongan balas dendam terhadap pasangan.
“Ada logika yang terdistorsi. Pelaku merasa kematian adalah jalan keluar bagi dirinya dan anak,” tambahnya.
Dalam konteks kasus Alvaro, kata Danti, pola tersebut lebih mendekati akumulasi keputusasaan ketimbang ledakan emosi sesaat.