Nikah Siri: Bersenang-senang Dahulu, Bersakit-sakit Kemudian -->

Nikah Siri: Bersenang-senang Dahulu, Bersakit-sakit Kemudian

27 Nov 2025, November 27, 2025

Belakangan ini masyarakat diresahkan oleh berita maraknya jasa nikah siri yang ditawarkan melalui media sosial TikTok. Dalam iklan tersebut, penyedia jasa menawarkan jasa nikah siri, lengkap dengan sarana prasarana pendukung hingga penerbitan seritifikat nikah siri. Menghadirkan pihak yang menikahkan lengkap dengan saksi nikah, penyedia jasa mengklaim dapat menjadi solusi bagi pasangan yang ingin menikah namun menghadapi keterbatasan biaya.

Nikah Siri, Sah atau Tak Sah?

Istilah nikah siri biasanya identik dengan perkawinan dengan tata cara agama Islam yang tidak dibarengi dengan pencatatan perkawinan oleh negara dalam hal ini oleh Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga yang berwenang mencatatkan perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian, Pasal 2 ayat (2) menambahkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal tersebut hendaknya dibaca sebagai satu kesatuan norma, bukan sebagai dua alternatif cara yang bisa dipilih salah satunya.

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi pernah memutus permohonan uji materiil atas keberadaan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tentang kewajiban mencatatkan perkawinan, yang oleh pemohon Aisyah Mochtar dianggap bertentangan dengan hak konstitusionalnya. Pemohon menilai bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana dilindungi oleh Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Pemohon berpendapat bahwa perkawinannya yang dilakukan tanpa dicatatkan adalah sah karena telah sesuai dengan rukun nikah dalam Islam dan kewajiban pencatatan perkawinan membuat perkawinannya yang sah menurut norma agama menjadi tidak sah menurut norma hukum, dan kemudian berdampak pada status anak yang dilahirkan menjadi anak tidak sah.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menolak permohonan pemohon Aisyah Mochtar khususnya mengenai hal pencatatan perkawinan. Mahkamah Konstitusi mengemukakan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat sah perkawinan melainkan merupakan kewajiban administratif. Kewajiban tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, bukan sebagai pembatasan. Selain itu, pencatatan juga dimaksudkan sebagai perlindungan dan pelayanan negara dalam menjamin hak-hak yang timbul dalam perkawinan dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Perkawinan, menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017 tentang uji materiil batas usia kawin, merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan. Peran negara bukanlah dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang, melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Adanya pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Dengan tidak dicatatkannya perkawinan, potensi kerugian dapat dihadapi oleh pihak-pihak yang terikat di dalamnya, baik suami, istri, dan terlebih anak. Sebut saja, persoalan hak dan kewajiban antara suami dan istri, juga orang tua dan anak, yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan hingga persoalan akibat putusnya perkawinan, baik karena kematian maupun perceraian, seperti pewarisan, pembagian harta bersama hingga hak asuh anak yang rawan menghadapi konflik dalam penegakannya karena perkawinan yang menjadi dasar hubungan hukum, dianggap tidak pernah ada, oleh negara.

Belum lagi mengenai status anak sebagai anak luar kawin, yang pada tahun 2010 juga menjadi pokok permohonan Aisyah Mochtar, yang menurutnya dirugikan karena dengan tidak dinilai sahnya perkawinan antara dirinya dengan ayah biologis dari sang anak pada saat itu, anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak luar kawin, yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebelum dinyatakan inkonstitusinal oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Putusan tersebut di satu sisi dinilai menjadi langkah progresif dalam reformasi hukum keluarga di Indonesia, yang kemudian menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan juga memiliki hubungan keperdataan dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Namun di sisi lain, putusan tersebut dinilai sebagian pihak justru sebagai bentuk pembiaran terhadap praktik-praktik nikah siri.

Jasa Nikah Siri sebagai Kontrak yang Cacat Hukum

Selain perlu ditinjau dari sisi sahnya perkawinan dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terikat di dalamnya, jasa nikah siri yang saat ini marak, perlu ditinjau dari kacamata hukum kontrak. Sebagai bentuk jasa, terdapat transaksi antara penyedia jasa nikah siri dengan pasangan yang akan melangsungkan nikah siri. Untuk melangsungkan nikah siri, calon pengantin diwajibkan membayar sejumlah uang sebagai bentuk kontraprestasi dari jasa penyelenggaraan nikah siri yang dilaksanakan oleh penyedia jasa.

Dilihat dari sudut pandang hukum kontrak, transaksi ini bukanlah merupakan hubungan hukum yang lahir dari perjanjian yang sah. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah sebab yang halal. Sebab yang halal dalam hal ini dimaknai bahwa perjanjian dilatarbelakangi oleh motif atau tujuan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam hal ini, dengan sengaja menawarkan dan menggunakan jasa nikah siri tentu saja bertentangan dengan hukum perkawinan Indonesia dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan. Akibatnya, perjanjian antara penyedia jasa nikah siri dengan pasangan yang akan melangsungkan nikah siri dapat dianggap tidak memenuhi syarat obyektif sahnya perjanjian dan dapat dinyatakan batal demi hukum, dianggap tidak pernah ada serta tidak menimbulkan akibat hukum bagi para pihak.

Praktik jasa nikah siri yang telah memanfaatkan media sosial secara tidak benar, harus menjadi perhatian pemerintah. Tidak hanya menjadi domain Kementerian Agama, kementerian lain seperti Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak harus mengambil peran dalam mengatasi persoalan ini. Sinergi dengan Pemerintah Daerah dan penegak hukum juga diperlukan untuk mengetahui akar masalah dari penyebaran jasa nikah siri ini dan memastikan penegakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan bagi pihak-pihak yang terlibat.

Cinta memang tidak cukup dibuktikan oleh secarik kertas tapi tanpa secarik kertas, cinta dapat berubah menjadi petaka.

TerPopuler