
Bengkalispos.com, JAKARTA - Ekspor batik Indonesia pada awal 2025 menjadi sinyal optimisme: pada triwulan I, nilai ekspor produk batik tembus US$ 7,63 juta, naik 76,2 % dibanding periode sama tahun lalu.
Di triwulan II, ekspor juga menunjukkan tren positif dengan pertumbuhan tahunan sebesar 27,2% menjadi US$ 5,09 juta (Kementerian Perindustrian, 2025). Angka ini bukan sekadar simbol prestasi, melainkan panggilan agar industri batik tidak berpuas diri momentum ekspor besar harus dijaga agar tak berubah menjadi kilas balik.
Saat kita berpijak di kabupaten batik Jawa, gambaran klasik masih muncul: pengrajin perempuan dengan canting menari di atas kain putih, sementara di belakang rumahnya tangki pewarna atau saluran air memperlihatkan kadar polutan yang memudar. Keindahan motif batik yang diwariskan turun-temurun terkadang dibayar mahal oleh alam.
Batik bukan sekadar kain atau komoditas ekspor. Sejak 2009, UNESCO menobatkannya sebagai warisan budaya tak benda dunia. Ia menjadi identitas kolektif bangsa dan penyangga ekonomi bagi jutaan pengrajin, terutama perempuan di level usaha kecil dan menengah. Namun dalam era regulasi lingkungan yang makin ketat dan konsumen global yang menuntut produk berkelanjutan, industri batik menghadapi pilihan kritis: tetap mempertahankan cara lama atau berani berubah demi masa depan.
Pertumbuhan ekspor menunjukkan bahwa pasar global tengah memburu produk budaya Indonesia — tetapi loncatan itu tak cukup jika tidak dibarengi perubahan mendasar di bidang produksi. Di sinilah konsep batik hijau masuk sebagai kunci: produksi yang meminimalkan dampak lingkungan, dengan penggunaan bahan, energi, dan pengelolaan limbah yang lebih bertanggung jawab.
Pemerintah melalui Kemenperin telah menanggapi tantangan ini dengan mensosialisasikan Standar Industri Hijau (SIH) khusus untuk sektor batik. Inisiatif tersebut mendorong penggunaan kompor listrik atau tungku hemat energi, sistem pengolahan limbah skala kecil, dan substitusi pewarna sintetis dengan bahan alami. Dengan SIH, produsen memiliki jalan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, air, energi, sekaligus memenuhi harapan pasar ekspor yang semakin menjadikan aspek keberlanjutan sebagai syarat utama.
Namun, transformasi tidak instan. Penelitian tentang penerapan industri hijau di industri kecil dan menengah (IKM) batik menunjukkan bahwa kinerja hijau rata-rata baru mencapai sekitar 46% (i.e., Purwanto, 2023). Artinya, hampir separuh praktik masih berada di bawah standar ideal banyak pelaku usaha yang belum menerapkan prinsip efisiensi bahan, teknologi ramah lingkungan, dan pengelolaan limbah secara sistematis. Sertifikasi atau standar lingkungan formal di kalangan IKM juga masih sangat terbatas.
Dalam praktik lapangan, banyak pengrajin mengaku bahwa transformasi ke produksi ramah lingkungan mula-mula muncul dari naluri moral dan spiritual: kesadaran bahwa mencemari alam adalah kesalahan terhadap ciptaan. Tapi kesadaran saja tidak cukup, terutama ketika tekanan biaya, kurangnya akses teknologi, dan pasar lokal yang belum sepenuhnya siap membeli produk premium tetap menjadi hambatan.
Dalam menghadapi dilema itu, sejumlah pengrajin menerapkan strategi ambidexterity menjaga lini produksi batik konvensional untuk volume pasar domestik, sementara menyisihkan lini batik hijau premium untuk pasar yang lebih sadar lingkungan dan ekspor. Bukan sekadar trik pemasaran, strategi ini menggambarkan cara usaha kecil bertahan di tengah perubahan paradoksal: antara tuntutan efisiensi dan idealisme hijau.
Apa yang membedakan batik hijau dari versi konvensional bukan hanya formula bahan atau langkah produksi melainkan narasi yang menyertainya. Narasi budaya, narasi alam, narasi etika dan sosial.
Motif bukan semata hiasan; ia mengandung filosofi dan doa. Warna yang dihasilkan dari secang, daun jati, indigo, atau kulit kayu membawa karakter unik sekaligus pesan ekologi. Produksi bahkan bisa menjadi ruang inklusi sosial lewat pemberdayaan pengrajin penyandang disabilitas atau pemanfaatan limbah kain sebagai material kreatif. Konsumen masa kini tidak sekadar membeli kain; mereka membeli kisah—kisah tentang keselarasan antara manusia, budaya, dan bumi.
Namun, kita tidak boleh menutup mata terhadap tantangan riil: modal awal yang tinggi, belum jelasnya standar nasional “batik hijau”, terbatasnya pengetahuan teknis tentang pewarna alami, dan pangsa pasar domestik yang belum sepenuhnya mau membayar harga premium menjadi rintangan besar.
Agar transformasi tidak cuma slogan, dibutuhkan arsitektur kolaborasi: pemerintah harus hadir dengan regulasi, insentif dan pembiayaan khusus; asosiasi batik dan akademisi perlu merancang pelatihan serta riset aplikatif; pelaku usaha harus diberi kemudahan akses teknologi hijau; konsumen harus dibangun kesadaran membeli produk dengan nilai tambah keberlanjutan.
Kenaikan ekspor batik di awal 2025 bukan hanya angka itu adalah peluang global yang membuka pintu dunia ke “kain bermakna.” Namun agar gelombang positif ini tidak surut, batik Indonesia tidak bisa sekadar jadi cantik dari motifnya ia harus bersih dari jejak lingkungan. Hanya dengan perubahan keberlanjutan, warisan budaya ini bisa lestari sekaligus memberi nilai tambah ekonomi bagi generasi yang akan datang.